Imagine (John Lennon)
Lagu ‘Imagine’ ditulis dan dinyanyikan oleh musisi progressif John
Lennon, pada tahun 1971. Kabarnya, lagu ini terinspirasi oleh
puisi-puisi Yoko Ono di buku “Grapefruit” di tahun 1964. Lagu Imagine
mewakili mimpi John Lennon mengenai masa depan yang dicita-citakan:
sebuah dunia tanpa negara, tanpa agama, dan tanpa kepemilikan, dan tanpa
keserakahan dan kelaparan.
Sebagian orang menuding itu mimpi atau utopia. Tapi, John Lennon bilang,
“you may say I’m a dreamer, but I’m not the only one/ I hope some day
you’ll join us/ And the world will be as one. Lennon sendiri pernah
berkelakar, “bayangkan, tidak ada agama, tidak ada negara, tidak ada
politik, ini hampir mirip dengan Manifesto Komunis, meskipun meskipun
aku tidak terlalu Komunis dan saya tidak tergabung dalam gerakan
apapun.”
Obsesi Lennon itu tidak terlepas dari ketidakpuasannya terhadap keadaan.
Di tahun 1960-an hingga 1970-an, John Lennon bersama The Beatles aktif
dalam gerakan anti-perang, terutama menentang perang Vietnam.
God Save the Queen (The Sex Pistol)
Ini adalah lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh grup band Punk
Rock, Sex Pistol. Lagu ini masuk album Never Mind the Bollocks, Here’s
the Sex Pistols, yang diluncurkan tahun 1977.
Lagu ini menentang monarki yang berkuasa di Inggris. Saat itu Inggris
dibawah kekuasaan Ratu Elizabeth II. Judul lagu “God Save the Queen”
diambil dari lagu kebangsaan Inggris. God Save the Queen punya lirik
yang sangat pedas: God save the queen/ She ain’t no human being/ There
is no future/ In England’s dreaming. Majalah musik Rolling Stone
menempatkan ‘God Save The Queen” dalam daftar 500 lagu terbaik sepanjang
masa.
This Land is Your Land (Woody Guthrie)
Banyak menyebut lagu ‘This Land is Your Land’ sebagai lagu kebangsaan
kedua Amerika Serikat. Yang Lain bilang, ini lagu versi tandingan kaum
marxis terhadap lagu ‘God Bless America’.
Lagu ini diciptakan dan dinyanyikan oleh Woody Guthrie. Guthrie menulis
lagu ini di tahun 1940 dan merekamnya tahun 1944. Kabarnya, Guthrie
menulis lagu ini karena jengkel dengan lagu ‘God Bless America’-nya
Irving Berlin, yang tak henti-hentinya diputar di radio.
Lagu ini merupakan refleksi Guthrie setelah melakukan perjalanan panjang
dari barat ke pantai timur Amerika. Di perjalanan itu ia bertemu dengan
gelandangan, pekerja migran yang terlunta-lunta, dan petani yang
tertekan oleh depresi ekonomi.
Lirik lagu ini mengalami beberapa kali pengubahan. Sekarang lagu ini
menjadi lagu kebangsaannya gerakan rakyat di Amerika. Hampir setiap aksi protes menyanyikan lagu
ini. Termasuk saat aksi yang digelar oleh Gerakan ‘Occupy Wall Street’.
Sekarang lagu ini banyak dinyanyikan oleh Pete Seeger, Bruce
Springsteen, Tom Morello, dan lain-lain.
Free Nelson Mandela (The Special AKA)
Lagu ‘Free Nelson Mandela’ pertama kali dirilis tahun 1984 sebagai
bentuk protes atas penangkapan dan pemenjaraan terhadap aktivis
pembebasan Afrika Selatan, Nelson Mandela. Lagu ini pertama kali
dinyanyikan oleh band asal Coventry, Inggris, yakni The Special AKA.
Lagu ini pernah menempati urutan ke-9 tangga lagu di Inggris dan sangat
populer di Afrika.
Penulis lagu ini, Jerry Dammers, tidak begitu yakin lagi akan melahirkan
pengaruh kuat dan terkenal. Pada kenyataannya, lagu ini sangat terkenal
ke penjuru dunia. Bahkan, lagu ini selalu dinyanyikan saat pawai atau
aksi massa ANC (Kongres Nasional Afrika).
The Times they are a-Changing (Bob Dylan)
The Times They Are a-Changin adalah lagu yang sekaligus menjadi judul
album karya Bob Dylan yang muncul di tahun 1964. Ini adalah salah satu
lagu protes paling terkenal yang ditulis Bob Dylan.
Lagu ini juga menjadi salah satu pembakar spirit perlawanan dan protes
sosial di tahun 1960-an. “Ini jelas sebuah lagu yang punya tujuan,”
katanya. “Gerakan hak-hak sipil dan gerakan musik kerakyatan akan sangat
dekat untuk sementara dan beraliansi saat itu.
Pada tahun 1960, Bob Dylan merupakan salah satu dari sekian penyanyi
yang menjadi icon musik protes. Lagu-lagunya langsung menohok isu-isu
politik, seperti hak-hak sipil warga kulit hitam Amerika, anti-perang,
anti-militerisme, dan lain-lain.
Strage Fluit (Billie Holiday)
“Strange Fruit” adalah satu lagu terkenal yang dinyanyikan oleh Billie
Holiday, seorang penyanyi jazz Amerika terkemuka. Lagu ini mulai dibuat
dan direkam tahun 1939. Lagu ini diambil dari pusisi Abel Meeropol,
seorang Yahudi yang menjadi aktivis Partai Komunis.
Lagu ini memprotes praktek ‘hukuman gantung’ yang berlangsung di Amerika
Selatan. Sebagian besar yang digantung adalah kaum budak atau keturunan
Afro-Amerika. Tercatat, sedikitnya 3,446 kulit hitam dan 1297 kulit
putih dihukum gantung sejak 1882 hingga 1968.
Lagu ini cukup populer dan masuk daftar 20 lagu terbaik sepanjang masa.
Lagu ini sekaligus melambungkan nama Billie Holiday dengan suaranya yang
luar biasa untuk terus dikenang dalam sejarah lagu politis di dunia.
La Marseillaise (Claude De Lisle)
La Marseillaise adalah salah satu lagu patriotik di saat meletusnya
Revolusi Perancis. Lagu ini ditulis oleh komposer Perancis yang juga
bekerja sebagai tentara, Claude Joseph Rouget de Lisle.
De Lisle awalnya menulis lagu dengan tajuk Chant de guerre pour l’Armée
du Rhin ( Lagu perang untuk tentara dari Rhine). Lagu ini sangat
populer saat revolusi Perancis meletus. Lagu ini dinyanyikan oleh
sukarelawan dari Provencal, yang sebagian besar adalah warga biasa, yang
berusaha menangkap Raja Louis XVI di bulan Agustus tahun 1792.
Lagu ini kemudian dikenal sebagai La Marseillaise dan dijadikan lagu
kebangsaan Perancis pada tahun 1795. Namun, lagu ini sempat dilarang di
era Napoleon I, Louis XVIII dan Napoleon III. Kendati lagu ini sangat
sukses, tetapi tidak demikian dengan penciptanya. De Lisle meninggal
dalam kemiskinan di tahun 1836.
Sunday Bloody Sunday (U2)
Lagu “Sunday Bloody Sunday” diciptakan dan dinyanyikan oleh kelompok
band Irlandia, U2, untuk mengenang kejadian tragis pada 30 Januari 1972,
di kota Derry, Irlandia Utara, saat militer Inggris menyerang pawai
damai kelompok hak sipil.
Saat itu, lebih dari 20 ribuan warga Irlandia Utara menggelar aksi
damai. Namun, militer Inggris meresponnya aksi damai dengan sangat
brutal. Mereka mengirimkan pasukan penerjun payung bersenjata lengkap
dan menembaki demonstran. Laporan resmi menyebutkan 27 orang demonstran
tewas dalam serangan brutal itu.
Lagu ini masuk dalam album “War”, yang diluncurkan Februari 1983. Lagu “Sunday Bloody Sunday” menjadi lagu protes paling terkenal
dan selalu dinyanyikan U2 di setiap konsernya selama 25 tahun. Bono,
pentolan U-2, yakin bahwa musik bukan sekedar hiburan, tapi lebih dari
itu. Menurutnya, musik bisa mengubah sebuah generasi. “Lihatlah apa yang
terjadi dengan Vietnam. Musik mengubah seluruh generasi untuk bersikap
terhadap perang,” katanya.
Internationale (Eugène Pottier)
Inilah lagu yang membangkitkan klas tertindas dan terhisap di seluruh
dunia untuk bangkit melawan. Inilah lagu “Internasionale”, karya Eugène
Pottier, seorang buruh dan sekaligus sosialis Perancis.
Lagu ini sudah diterjemahkan dalam hampir semua bahasa di seluruh dunia.
Lagu ini menjadi lagu kaum proletar di seluruh dunia yang berjuang
untuk pembebasan sejati, yakni sosialisme.
Lagu ini diciptakan oleh Pottier di bulan Juni 1871, di saat kaum buruh
berhasil membangun kekuasaan proletar pertama di muka bumi, yakni Komune
Paris. Pottier sendiri menjadi bagian dari pemerintahan revolusioner
tersebut. Vladimir Lenin kemudian menulis, “Komune ditindas, akan tetapi
Internasionale-nya Pottier menyebarkan ide-ide Komune ke seluruh
penjuru dunia, dan sekarang lagu ini mempunyai daya hidup lebih daripada
di waktu kapanpun.”
Lagu ini membakar semangat perlawanan siapa saja yang berjuang untuk
keadilan sosial. Tidak hanya kaum sosialis dan kaum komunis.
Sampai-sampai seorang demokrat radikal seperti Ki Hajar Dewantara
tertarik untuk menerjemahkan lagu ini ke bahasa Indonesia.
Shipbuilding (Robert Wyatt/Elvis Costello)
Lagu Shipbuilding ditulis oleh Elvis Costello saat perang Falkland
meletus di tahun 1982. Lagu ini mengangkat hal kontradiktif semasa
perang Falkland. Saat itu, untuk menggantikan kapal perang yang rusak,
galangan kapal tradisional ini pun kembali dibangun.
Namun, berita pembangunan kembali galangan kapal baru ini tidak begitu
menyenangkan, sebab anak-anak muda di daerah sekitar galangan kapal juga
harus ikut menyerahkan nyawa mereka di dalam perang.
Jerussalem (Willam Blake)
Lagu ini berasal dari puisi dari seorang penyair Inggris, William Blake.
Puisi ini kemudian menjadi lagu oleh Hubert Parry di tahun 1916 dan
diberi judul “Jerussalem”. Sejak itu, lagu itu menjadi lagu universal.
Blake, yang gelisah dengan revolusi Industri, menulis puisinya dari
cerita apokrif kunjungan Yesus ke Inggris, yang ada kaitannya dengan
konsep ‘kedatangan kedua’ dan pembentukan Yerussalem lain. Sebuah
metafora untuk dunia baru yang lebih damai.
Blake mengadopsinya dalam konteks Inggris, di saat Revolusi Industri di
abad ke-19, yang ditandai dengan ketakutan terhadap ‘pabrik-pabrik
setan’. Ia memimpikan Jerussalem dengan rumputnya yang biru.
Won’t Get Fooled Again (The Who)
Won’t Get Fooled Again adalah lagu yang dinyanyikan oleh band Rock
Inggris, The Who, pada tahun 1971. Kendati lagu dikategorikan lagu
politik, tetapi sebetulnya bentuk sinisme politik.
Si penulis lagu ini, Pete Townshend, pernah bilang, tidak tepat sebuah
lagu mendekritkan revolusi. Menurutnya, sebuah revolusi, seperti juga
semua aksi, hanya akan mencapai hasil yang tidak pernah kita perkirakan.
Ketika sutradara film Michael Moore meminta lagu ini dimainkan di
bagian penutup film Fahrenheit 9/11, Townshend menolaknya. Jadi,
sebetulnya lagu bukanlah lagu protes yang diharapkan bisa menggerakkan
mereka yang dijepit ketidakadilan.
Killing In The Name (Rage Against The Machine)
Lagu Killing In The Name adalah lagu yang diciptakan dan dinyanyikan
oleh band revolusioner asal Amerika, Rage Against The Machine (RATM),
pada tahun 1992.
Lagu ini dipersembahkan sebagai bentuk perlawanan terhadap rasisme dan
kebrutalan polisi. Lagu ini lahir bersamaan dengan kerusuhan rasial yang
terjadi di Los Angeles tahun 1992. Kerusuhan itu dipicu oleh pembebasan
4 polisi kulit putih yang terlibat pemukulan terhadap seorang kulit
hitam.
Lirik lagu ini memperlihatkan luapan kemarahan. Kata ‘F**k You’ tercatat
16 kali di lagu ini. Kemudian ditutup dengan teriakan “Motherf**ker!”.
Ini kemarahan yang sudah mendidih terhadap rasisme yang terlembaga dalam
sistem politik Amerika. Bahkan, di dalam korps kepolisian banyak yang
menjadi pendukung organisasi teroris-fasis Ku Klux Klan.
Talkin’ ‘Bout a Revolution (Tracy Chapman)
Talkin’ ‘Bout a Revolution adalah single kedua dari Tracy Chapman. Lagu
ini berisi pesan politis agar rakyat miskin bangkit untuk merebut
hak-hak mereka. Lagu ini dirilis tahun 1988.
Pada tahun yang sama, Tracy tampil di Konser memperingati 40 Tahun
Deklrasi Hak Azasi Manusia. Juga, pada tahun yang sama, ia tampil dalam
konser penghormatan untuk Nelson Mandela. Dana yang terkumpul dari
konser itu digunakan untuk perjuangan anti-apartheid.
Tracy Chapman, yang sangat mengagumi Nelson Mandela, merasakan kerasnya
kehidupan sosial di AS yang rasis. Namun, sikap humanis-nya justru
terbangun dari pengalaman itu. Ia kemudian mendedikasikan lagu-lagunya
untuk melawan ketidakadilan dan penindasan.
Mississippi Goddam (Nina Simone)
Lagu Mississippi Goddam ditulis dan dinyanyikan oleh penyanyi dan pianis
Amerika, Nina Simone, pada tahun 1964. Lagu ini merupakan protes atas
pembunuhan Medgar Evers, seorang aktivis hak-hak sipil keturunan Afrika
di Mississippi.
Lagu ini juga memprotes pengeboman gereja di Birmingham, Alabama, dan
pembunuhan empat orang anak kulit hitam. Ia pernah menyanyikan lagu ini
dihadapan 40.000 orang di acara aksi Selma to Montgomery marches.
Setelah dirilis, lagu ini menjadi lagu aksi-nya kelompok pejuang hak-hak
sipil di Amerika. Lagu ini sempat dilarang di beberapa negara bagian
selatan Amerika karena kata-kata “goddam”.
What’s Going On? (Marvin Gaye)
Lagu “What’s Going On” direkam tahun 1971 oleh penyanyi R&B Amerika,
Marvin Gaye. Lagu ini awalnya disusun oleh Renaldo “Obie” Benson, yang
juga penyanyi R&B.
Lagu ini terinspirasi dari kejadian yang disaksikan Benson saat
melakukan kunjungan ke Barkeley di tahun 1969. Saat itu ia menyaksikan
kebrutalan polisi yang memukuli demonstran. Ia kemudian berusaha
menuliskan apa yang disaksikannya. Tetapi tidak pernah selesai.
Sampai kemudian ia bertemu Marvin Gaye dan menawarkan lagu ini. Marvin
Gaye meresponnya. Tak lama setelah dirilis, kaset lagu ini laku 2,5 juta
kopi.
The Revolution Will Not Be Televised (Gil Scott-Heron)
Lagu ‘The Revolution Will Not Be Televised’ diciptakan oleh penyair dan
sekaligus penyanyi jazz Amerika, Gil Scott-Heron. Ia kemudian merekam
lagu ini pada tahun 1970.
Lagu ini lahir sebagai respon terhadap kehidupan politik di era Presiden
Nixon dan ketidakmampuan media mainstream menangkap kehendak atau
perasaan rakyat. Judul lagu ini diambil dari slogan populer dari gerakan
protes di tahun 1960-an.
Menurut Gil, lagu itu tentang bagaimana mengubah pikiran. “Anda harus
mengubah gaya berpikir anda sebelum mengubah jalan hidup anda dan cara
anda bergerak.”
Redemptiong Song (Bob Marley and The Wailers)
Lagu ‘Redemptiong Song” karya Bob Marley ini ditulis di tahun 1979. Lagu
ini terinspirasi oleh pidato yang disampaikan oleh Marcus Garvey, salah
satu tokoh pejuang pembebasan Afrika, yang menyerukan bangsa Afrika
untuk melakukan ‘emansipasi dari mental budak’.
Ini adalah lagu yang berisi seruan bagi bangsa Afrika, yang baru saja
lepas dari perbudakan, untuk melepas mental budak dengan membebaskan
pikiran mereka dari rasa rendah diri dan terperintah.
Melalui lagu ini, Bob Marley menebar optimisme kepada bangsa Afrika
tentang masa depan yang gemilang: We forward in this generation
Triumphantly. Di tahun 2009, seorang penyair Jamaika, Mutabaruka,
menyatakan lagu ini sebagai lagu paling populer dalam sejarah Jamaika.
Where Have All the Flowers Gone (Pete Seeger)
Lagu Where Have All the Flowers Gone adalah lagu rakyat yang diciptakan
dan dinyanyikan oleh penyanyi Kerakyatan Amerika, Pete Seeger. Lagu ini
ditulis Peter Seeger di tahun 1945.
Lagu ini banyak terinspirasi oleh lagu-lagu rakyat Ukraina yang ada di
dalam novel “And Quiet Flows the Don” karya novelis Soviet Michail
Sholokhov.
Pete Seeger sendiri adalah pencipta banyak sekali lagu-lagu rakyat
Amerika yang populer, seperti We Shall Overcome, If I Had a Hammer, dan
Guantanamera.
Pete Seeger sudah 7 dekade lebih menekuni lagu-lagu rakyat dan banyak
menginspirasi musisi kerakyatan lainnya. Tak heran, Bob Dylan menyebut
dia “Santo”. Karena dukungan dan keterlibatannya dalam memperjuangkan
hak-hak sipil, menentang perang, dan melawan segala bentuk keadilan,
banyak yang mengusulkan Pete Seeger untuk mendapatkan nobel.
Pete Seeger sangat memegang kuat pernyataan Bertolt Brecht: seni
bukanlah cermin untuk menangkap realitas, tetapi sebuah palu yang
digunakan untuk membentuk itu.
Glad To Be Gay (Tom Robinson)
Lagu ‘Glad To Be Gay’ adalah lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh
grup band Punk Rock Inggris, Tom Robinson Band. Lagu ini ditulis oleh
Tom Robinson untuk parade Gay Pride di tahun 1976. Sejak itu, lagu ini
menjadi lagu kebangsaan kaum gay di Inggris.
Robinson, mantan penyanyi anak-anak di gereja, sangat tertarik dengan
politik pembebasan LGBT dan terinspirasi oleh Sex Pistol. Lagu “Glad To
Be Gay” merupakan kritik terhadap pandangan diskriminatif sebagian
masyarakat Inggris terhadap kaum Gay. Lagu ini juga memprotes tindakan
polisi menyerbu bar kaum gay tanpa alasan.
0 comments
Post a Comment